Manfaat Pemahaman Hukum Kesehatan Dari Risiko Kesehatan Reproduksi dan Mental Bagi Anak Yang Belum Dewasa Namun Sudah Memiliki Anak

Redaksi - 3 April 2023

TOP JABAR – Perempuan yang menikah diusia Remaja memiliki risiko kesehatan reproduksi dan mental yang serius,Remaja adalah mereka yang berada dalam proses transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa.

Dalam Pasal 33 dan Pasal 34 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan Anak, menjabarkan bahwa materi pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana yang dimaksud adalah pengetahuan anak atau remaja terkait kesehatan reproduksi.

Remaja harus memiliki pengetahuan tentang kesehatan seksualitas secara benar dan tepat. Selama ini pemahaman dan pengetahuan remaja masih cukup rendah bahkan remaja mengabaikannya.

Pengertian anak diatur berdasarkan ketentuan Pasal 330 KUHPerdata, yang berbunyi anak adalah mereka yang belum berumur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin.

Sedangkan, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 47 ayat (1), “Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

Kemudian dalam pasal 1 ayat a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Perubahan yang terjadi pada masa remaja dapat dilihat dari segi biologis yakni ketika anak memasuki masa pubertas. Pada remaja perempuan mengalami menstruasi pertama dan remaja putra mengalami mimpi basah.

Pubertas menjadikan seorang remaja memiliki kemampuan untuk melakukan reproduksi. Terjadi juga perubahan fisik, perkembangan kognitif dan pembentukan nilai diri dari segi moral.

Terdapat beberapa faktor maupun kendala yang dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan reproduksi remaja. Faktor sosial, ekonomi, demografi, terutama tingkat kemiskinan, pendidikan yang cukup rendah.

Selain itu budaya serta lingkungan misalnya praktek tradisional yang berdampak burukpada kesehatan reproduksi, seperti di beberapa daerah terpencil memiliki kepercayaan bahwa banyak anak banyak rejeki.

Faktor psikologis berdampak pada ketidakharmonisan hubungan antara orang tua dan remaja, depresi karena ketidakseimbangan hormonal, faktor biologis diantaranya mengalami cacat sejak lahir dan cacat pada saluran reproduksi pasca penyakit menular seksual.

Perkawinan di bawah umur dapat terjadi oleh beberapa alasan salah satunya adalah karena kekerasan seksual. Salah satu akibat dari kekerasan seksual adalah kehamilan yang tidak diharapkan.

Pada umumnya kehamilan merupakan suatu hal luar biasa bagi seorang wanita sebagai salah satu fase kehidupan dan fase reproduksi manusia untuk mendapatkan keturunan. Namun, pada kenyataannya tidak semua kehamilan merupakan kehamilan karena perkawinan yang sah masih terdapat kehamilan yang tidak diharapkan.

Kehamilan tidak diharapkan menurut Perkumpulan Berencana Keluarga Indonesia (PKBI) memiliki pengertian yaitu merupakan suatu kondisi dimana pasangan tidak menghendaki adanya proses kelahiran akibat dari kehamilan. Sehingga perlindungan terhadap janin dalam hal tersebut harus dilakukan, walaupun anak yang dikandung merupakan hasil dari kehamilan tidak diharapkan.

Minimnya pemahaman orang tua / orang dewasa lainnya terhadap pernikahan bagi anak – anaknya termasuk tradisi daerah memicu munculnya promosi yang dilakukan orang/pihak yang tidak bertanggung jawab tentang perkawinan anak (yang berusia dibawah 18 tahun) yang berdampak pada kemunculan kasus-kasus perkawinan dibawah umur yang cukup tinggi.

Ada anggapan budaya yang membicarakan atau menyampaikan informasi mengenai seks pranikah adalah hal tabu. Faktor ini juga menjadi salah satu penyebab ketidaktahuan dan ketidak sadaran remaja mengenai proses reproduksi.

Remaja memiliki hak untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai kehamilan, supaya memiliki tanggung jawab terhadap situasi dan kondisi yang sedang dialami. Remaja juga memahami status kesuburannya, sehingga tidak melakukan seks diluar pernikahan atau seks bebas.

Seseorang yang telah melangsungkan perkawinan dianggap sudah lepas dari tanggung jawab orang tua. Pada kenyataannya, anak-anak yang menikah di bawah umur ini masih perlu dibimbing oleh orang tua dan masih merupakan tanggung jawab keluarga sehingga diharapkan keluarga tidak meninggalkan anak di bawah umur ini setelah dinikahkan.

Di fase setelah menikah masuk pada fase kehamilan, Kehamilan adalah proses berkembangnya embrio di dalam uterus sejak terjadi fertilisasi hingga dilahirkan. Proses kehamilan dan kelahiran pada usia remaja memberikan kontribusi dalam meningkatkan angka kematian. Remaja hamil sering mengalami komplikasi seperti persalinan premature, berat badan bayi rendah, dan kematian prenatal, preeclampsia, penyakit menular seksual, malnutrisi, darah tinggi, dan solusio plasenta

Kehamilan hingga melahirkan adalah rangkaian proses reproduksi yang sangat berat yang harus dipikul oleh perempuan. Remaja hamil sering tidak menyadari masalah kesehatan reproduksi yang dialaminya, sehingga menempatkan diri dan bayinya ada pada kondisi resiko, gangguan penyakit, hingga kematian.

Kehamilan juga merupakan masa yang membingungkan bagi remaja. Tubuhnya secara fisiologi mengalami perubahan yang tidak biasa dan sering menimbulkan ketakutan. Pada sebagian besar remaja, kehamilan menjadi situasi yang tidak diinginkan.

Kondisi ini terbukti dengan semakin meningkatnya angka aborsi usia muda dari tahun ke tahun. Remaja yang aktif atau subur secara seksual, memiliki peluang 90% mengalami kehamilan.

Dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak perlu dipahami bahwa bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Kesehatan reproduksi dan mental merupakan suatu kondisi sehat menyangkut sistem, fungsi, dan proses reproduksi. Kesehatan reproduksi dan mental merupakan suatu hal yang penting mengingat reproduksi adalah sarana untuk melahirkan generasi penerus bangsa.

Kendati dampak dari Perkawinan dan kelahiran pada usia dibawah umur sangat mempengaruhi kesehatan reproduksi dan mental yang bahkan negara sudah mengatur pada peraturan yang mengikat (Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak) memang tak mudah mencegah perkawinan dibawah umur masih marak terjadi, mari bersama- sama mencoba memahami dari pengaturan perlindungan anak demi mencegah anak dibawah umur punya anak untuk generasi penerus masa depan bangsa.***

Penulis: Reiza Aribowo, SH (Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Bandung).

Loading

TERKAIT: