Perspektif Islam Terhadap Hak Perempuan Dalam Memilih “CHILDFREE”

Redaksi - 21 Maret 2023

TOP JABAR – HAM (Hak Asasi Manusia) dalam bahasa Indonesia bisa disebut juga hak dasar yang dimiliki setiap manusia. HAM didasarkan pada prinsip fundamental bahwa semua manusia memiliki harkat martabat yang inheren tanpa memandang ras,warna kulit, Bahasa, jenis kelamin, bangsa, umur, kasta, agama.

Semua orang berhak menikmati hak tersebut tanpa terkecuali. Artinya baik perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dengan perlindungan yang sama.

Menurut Adnan Buyung Nasution dan A.Patra M zen dalam bukunya Instrumen Internasional Pokok hak Asasi Manusia menjelaskan Hak Perempuan ialah suatu hak yang melekat pada setiap kaum perempuan, karena sebagai manusia dan perempuan pengakuan serta penghormatan terhadap perempuan sebagai makhluk sejatinya diakui sebagai hak yang inheren yang tidak bisa dipisahkan.

Pemahaman ini menjadi point penting Untuk Perempuan sebagai manusia yang bermartabat. Dan Salah satu hak dari perempuan adalah Hak seksual/reproduksi.

Di Indonesia sudah ada aturan yang mengatur tentang permasalahan hak perempuan yaitu salah satunya dalam Undang-undang Republik Indonesia No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia bagian kesembilan ”Hak Wanita” yang terdiri dari 9 pasal dan salah satunya menjelaskan tentang hak reproduksi wanita yaitu pada Pasal 49 ayat 2 dan dipertegas di ayat 3 yang berbunyi “ Hak khusus yang melekat pada diri Wanita dikarenakan fungsi reproduksinya,dijamin dan dilindungi oleh hukum”. Itu artinya Wanita memiliki hak yang dilindungi oleh hukum dalam bereproduksi.

Fenomena yang berkaitan dengan hak perempuan yang sekarang sedang menjadi trend dan ramai diperbincangkan adalah “Childfree” atau “bebas anak”. Fenomena ini mulai berkembang di Indonesia ketika youtuber Gita Savitri berbicara tentang keputusannya untuk memilih childfree, sehingga hal itu menjadi pro dan kontra di tengah masyarakat Indonesia.

Menurut laman HeylawEdu, istilah childfree mengacu kepada keputusan seseorang ataupun pasangan untuk tidak memiliki keturunan atau tidak memiliki anak. Selain itu, menurut Oxford Dictionary istilah childfree merupakan suatu kondisi di mana seseorang atau pasangan tidak memiliki anak karena alasan yang utama yaitu pilihan.

Keputusan childfree ini digunakan oleh seorang perempuan untuk memilih kebebasannya untuk menjalankan fungsi reproduksinya yaitu berupa menstruasi (haid), mengandung (hamil), melahirkan, dan menyusui dan hal tersebut hanya dimiliki oleh wanita.

Hal itu pula yang membedakan kodrat wanita dengan pria. Lalu, bila ada wanita yang memilih childfree, maka sudah tentu dianggap berlawanan dengan kodratnya sebagai orang wanita.

Saat seseorang memilih untuk childfree terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang tersebut memilih gaya hidup childfree. Dalam buku yang ditulis oleh Corinne Maier yang berjudul No Kids: Reasons For Not Having Children terdapat lima kategori alasan seseorang memilih childfree diantarannya : Faktor pribadi, faktor psikologis medis, faktor ekonomi, faktor filosofis, faktor lingkungan hidup.

Banyak kontroversi di Indonesia yang terjadi akibat trend Childfree ini karena faktor utama dari keputusan childfree bukan dari faktor biologis sehingga fenomena ini bertolak belakang dengan budaya di Indonesia yang menyakini bahwa memiliki anak akan membawa rezeki bagi keluarganya.

Seiring dengan ramainya fenomena childfree, tren angka kelahiran di Indonesia ternyata terus mengalami penurunan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, total fertility rate (TFR) Indonesia berada pada angka 2,18 poin pada 2020. Ini turun dari 5,61 pada 50 tahun lalu.

Meskipun menurut BPS mengalami penurunan tetapi data dari World Population Prospects pada tahun 2022, Indonesia masih berada di urutan kelima dalam daftar angka kelahiran anak tertinggi berdasarkan wilayah Asia Tenggara.

Angka TFR Indonesia berada di level 2,15 pada tahun 2022, sehingga menurut Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menilai, fenomena childfree di Indonesia masih berada di taraf wajar dan belum mengkhawatirkan. Tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan untuk membuat Fenomena childfree ini terus berkembang di tengah masyarakat Indonesia.

Diindonesia “childfree” masih sangat tabu, apalagi jika dilihat dari perspektif agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia yaitu islam. Banyak ulama dan ahli agama yang sudah bersuara akan childfree ini.

Menurut Ketua Assosiasi Ma’had Aly Indonesia (AMALI) KH Nur Hanan, ia menjelaskan jika memang alasannya dibenarkan oleh syariat, maka tidak ada masalah. Namun, jika alasannya tidak dibenarkan oleh syariat, maka akan melahirkan status hukum yang berbeda.

Menurutnya diperbolehkan tidak punya anak jika misalnya secara medis dapat membahayakan kesehatan istri atau anak. Namun, jika misalnya alasannya tidak ingin mempunyai anak lantaran takut miskin, maka hal ini tidak dibenarkan dalam Islam. Sedangkan jika memilih childfree untuk tujuan kecantikan atau awet muda, menurut Kiai Hanan, hukumnya bisa makruh.

Berbeda dengan pendapat kiai hanan, keputusan Muktamar NU Ke-28 di PP Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta hukum mematikan fungsi berketurunan secara mutlak adalah haram.

Meskipun sebenarnya bahasan Muktamar adalah hukum vasektomi dan tubektomi, tapi ini jelas melarang orang mematikan fungsi berketurunan atau reproduksi dapat juga menjadi alasan hukum childfree. Yaitu bila childfree dilakukan dengan cara mematikan fungsi reproduksi secara mutlak, maka hal ini jelas tidak diperbolehkan. Bila childfree dilakukan dengan menunda atau mengurangi kehamilan, maka itu masuk dalam kategori makruh.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa dilihat dari cara suami istri merealisasikan pilihan childfree, terdapat dua hukum yakni makruh bila hanya sekadar menunda kehamilan. Dan haram bila dengan mematikan fungsi reproduksinya secara mutlak.

Demikian, meski tidak ada ayat yang secara langsung melarang childfree dan hukumnya diperbolehkan, sebagai manusia yang meyakini Allah SWT, memilih untuk childfree bisa dikatakan sebagai pilihan yang kurang bijaksana karena Allah SWT berjanji akan menjamin kelangsungan hidup setiap hambanya.

Tegas disebutkan bahwa dalam Islam anak dipandang sebagai anugrah yang harus disyukuri karena anak adalah pemberian Tuhan.***

Penulis: Hyzara A Maharani (Mahasiswa S2 Magister Hukum Kesehatan UNISBA)

Loading

TERKAIT: