Transparansi Dipertanyakan, Ketum PPWI Adu Argumen Panas dengan Pejabat Polri
Noerul HR - 22 Januari 2025

Breaking News:
Dukung Koperasi Merah Putih, Saeful Bachri: Solusi Nyata bagi Petani
Saeful Bachri Minta Satgas Pengawasan Hewan Kurban Diperkuat Jelang Idul Adha
Ekonomi Kreatif dan Digitalisasi Jadi Kunci Masa Depan Kerja di Jawa Barat
100 Hari Kerja Bupati Bandung, DPRD Dorong Optimalisasi Birokrasi dan Terobosan Penanganan Sampah
Noerul HR - 22 Januari 2025
TOP JABAR, Jakarta – Janji Polri untuk menjalankan prinsip Presisi kembali dipertanyakan setelah insiden klarifikasi pengaduan masyarakat di Divpropam Polri pada Selasa, 21 Januari 2025, berujung pada ketegangan antara pelapor dan penyidik. Wilson Lalengke, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), yang melaporkan dugaan perilaku buruk Kapolres Pringsewu, AKBP Yunnus Saputra, memutuskan walk-out dari ruang penyidikan di Gedung Presisi 3 Mabes Polri, Jakarta Selatan.
Wilson, yang didampingi oleh tim penasihat hukum PPWI, yakni Advokat Ujang Kosasih, S.H., dan Advokat H. Alfan Sari, S.H., M.H., M.M., hadir sesuai jadwal untuk memberikan klarifikasi. Namun, proses klarifikasi tersebut diwarnai perdebatan terkait larangan pengambilan dokumentasi oleh penyidik, Iptu Yulius Saputra. Larangan itu didasarkan pada dalih SOP internal Polri, yang kemudian dipertanyakan oleh Wilson.
“Mengapa aparat Polri bebas mengambil dokumentasi, sementara kami sebagai rakyat yang hadir untuk memberikan klarifikasi tidak diizinkan? Bukankah prinsip transparansi yang adil seharusnya ditegakkan?” ujar Wilson dengan nada geram.
Ia juga menegaskan bahwa larangan tersebut bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 serta Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang mengatur kebebasan informasi dan pers.
“Larangan ini seperti sebuah upaya untuk menyembunyikan sesuatu yang tidak transparan. Jika ada kebusukan dalam prosesnya, kami tidak akan memiliki bukti karena adanya larangan dokumentasi ini,” tambahnya.
Baca Juga :
Akibat ketidaksepakatan tersebut, Wilson dan tim penasihat hukum memutuskan meninggalkan ruang penyidikan. Mereka kemudian melaporkan perilaku penyidik ke Divpropam Polri sebagai bentuk protes terhadap apa yang mereka anggap sebagai pelanggaran prosedural dan prinsip keadilan.
“Polisi sebagai pelayan rakyat seharusnya memberikan teladan yang baik. Namun, dalam kasus ini, justru kami melihat arogansi dan ketidakadilan yang nyata. Kami kecewa dengan apa yang kami alami hari ini,” kata Wilson usai meninggalkan Gedung Presisi.
Insiden ini menambah daftar panjang sorotan publik terhadap komitmen Polri dalam menjalankan moto Presisi (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi Berkeadilan). Wilson menutup pernyataannya dengan menyindir situasi tersebut sebagai “kegagalan nalar para wereng coklat yang semestinya melayani, bukan mengatur rakyat.” “Laporan selengkapnya akan terus kami pantau,” tutup Wilson Lalengke.* (roel)