Akibat Liberalisasi Ekonomi, Tren Pinjol Kian Meresahkan

Roel - 3 Agustus 2023

Oleh: Melinda Harumsah., SE

TOP JABAR, Karawang – Pinjaman online atau sering kita kenal dengan sebutan Pinjol kian marak di tengah masyarakat.

Menurut otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, masyarakat Jawa Barat merupakan pengguna pinjaman online (pinjol) atau peer to peer (P2P) lending tertinggi di Indonesia.

Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK Ogi Prastomiyono menyebut jumlah pinjaman warga Jawa barat mencapai Rp13,8 triliun per Mei 2023.

Posisi kedua terbanyak pengguna pinjol ditempati oleh warga DKI Jakarta sebesar Rp10,5 triliun.

Menyikapi hal di atas, peneliti dari Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak mengatakan bahwa itu tidak dapat dilepaskan dari penerapan sistem kapitalisme.

Adapun tren pinjol, sejatinya disebabkan oleh banyak hal. Semisal “kesempitan hidup” contohnya, lebih dari 26 juta rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan.

Sehingga pinjol, menjadi jalan termudah untuk dipilih masyarakat. Adapun, kesempatan hidup masyarakat, tidak lepas dari sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini.

Terkait, “Maraknya pinjol, yang memberikan berbagai dampak buruk, bagi masyarakat dan mewabahnya utang ribawi, tidak dapat dilepaskan dari peran negara, yang menganut sistem kapitalisme,” tuturnya kepada Mnews, Senin (18-7-2023).

Sehingga, dengan menganut sistem tersebut, negara sama sekali tidak memperhatikan aspek halal dan haram dalam mengatur kegiatan ekonomi.

Adapun, industri keuangan yang terlibat dalam transaksi yang bertentangan dengan Islam, termasuk pinjol yang menggunakan mekanisme riba, dianggap legal selama mendapatkan izin dan sejalan dengan aturan yang berlaku.

“Oleh karena itu, praktik pinjol tidak masuk dalam kategori kriminal. Sebab, yang dianggap kriminal, hanyalah perusahaan pinjol yang ilegal, alias belum mengajukan izin kepada pemerintah,” tandasnya.

Sistem ini melegakan liberalisasi ekonomi, alhasil segala komoditas di kapitalisasi atau dibisnis kan.

Mulai dari pendidikan, perdagangan, hingga kesehatan, rakyat pun menjadi kesulitan. Kebutuhan-kebutuhan asasiyahnya karena harganya yang mahal.

Karena cara pandang sekuler kapitalis, akan menjerat mereka pada pinjol, dengan tidak berkesudahan. Sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, telah mewarnai kehidupan masyarakat dengan gaya hidup hedonis dan materialis.

Masyarakat, kini memandang sumber kebahagiaan, ada pada materi dan kesenangan jasadiyah semata.

Padahal, mengejar kesenangan materi juga membutuhkan cuan yang tidak sedikit. Adapun gaya hidup materialis masyarakat, diperkuat lagi dengan gempuran media, yang secara terus-menerus mempersuasif masyarakat, untuk hidup hedonis.

Baca Juga :

Agar Sampah Tidak Menjadi Masalah

Masyarakat yang jauh dari pemahaman Islam, tidak lagi memperdulikan, apakah harta yang digunakan untuk kebutuhan asasiyah dan gaya hidup mereka.

Diperoleh melalui jalan halal ataukah bertentangan dengan aturan Allah, sebagaimana pinjol yang disertai oleh riba.

Yang perlu kita tahu, bahwa di dalam Khilafah, individu ataupun lembaga yang melakukan transaksi riba akan dikenai sanksi yang sangat keras.

Adapun, bentuk hukumannya sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad Khalifah karena muamalah riba masuk dalam kategori hukuman ta’ziir.

Jika kita merujuk pada kitab Nizhaam al-‘Uquubaat, karya Abdurrahman al-Maliki, yang menyebutkan, “Setiap pihak yang melakukan muamalah riba, menjadi salah satu pihak darinya, atau menjadi saksinya, atau menjadi penulisnya, maka dihukum dengan cambuk dan dipenjara selama dua tahun.

Kemudian, Islam juga memberikan solusi, agar individu, di dalam negara Islam, mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, baik untuk mempertahankan hidup, ataupun mengembangkan usahanya sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada utang.

Sehingga, dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar setiap rakyatnya, yaitu pangan, pakaian dan tempat tinggal. Maka negara Islam, akan menerapkan mekanisme, yang menjamin pemenuhan kebutuhan tersebut.

Di antara mekanisme penjaminan itu adalah mewajibkan laki-laki yang memiliki tanggungan, seperti istri, anak, dan orang tua yang sudah lanjut usia, untuk bekerja.

Negara pun, cenderung abai, terhadap persoalan ketakwaan rakyatnya, termasuk kesejahteraan, celakanya negara juga melegalkan praktek pinjol dengan perizinan lembaga pinjol.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman.”
(TQS. Al-Baqarah 2: Ayat 278)

Masihkah kita ragu? Dengan tegaknya sistem Islam?

Istimewanya, Negara Islam juga menggratiskan pendidikan, kesehatan dan keamanan, sehingga biaya hidup akan relatif terjangkau.

Betapa gembiranya, jika negara Islam, juga menyediakan fasilitas bantuan melalui Baitulmal. Sehingga, rakyat dapat meminta bantuan, jika tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya atau bermaksud mengembangkan usaha, sehingga membutuhkan modal seperti tanah dan prasarana pertanian, semua itu dapat di berikan secara gratis.

Kemudian, terkait pendapatan, dari harta milik umum, seperti minyak bumi, gas, dan batu bara, akan didistribusikan kepada publik dalam bentuk pelayanan publik, ataupun pembagian uang secara tunai.

Maka, dengan demikian tingkat kesejahteraan masyarakat akan naik signifikan. Kehidupan yang lslami juga, akan mengikis budaya materialisme dan hedonisme yang tumbuh subur di dalam masyarakat kapitalisme.

Mewujudkan masyarakat bersih dari riba, melibatkan peran sentral negara, dalam menjauhi riba.

Karena Khalifah sebagai sistem pemerintahan berlandaskan Al-Qur’an dan as-sunnah tidak akan membenarkan praktek riba berlangsung. Wallahu’alam.***

Loading

TERKAIT:

POPULER: