Pungli Tak Terkendali, Akhiri dengan Mekanisme Islam
Admin - 10 Mei 2022

Admin - 10 Mei 2022
Oleh: Yuyun Suminah, A. Md (Guru dan Pegiat Literasi Karawang)
TOP JABAR, Kota Bandung – Pungli atau Pungutan liar seperti sudah menjadi tradisi di negeri ini mulai dari dari level atas sampai level bawah. Tidak bisa dipungkiri, kasus pungli terjadi di pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Mirisnya, kasus pungli pun terus mewabah tak terkecuali di sektor pendidikan.
Dilansir dari detik.com Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) Jawa Barat (Jabar) berhasil menangani 6.500 kasus dalam satu tahun. Menurut gebernur Jawa Barat Ridwan Kamil Kasus pungli terbanyak terjadi di sektor pendidikan. Disampaikan usai mengukuhkan Tim Saber Pungli Jabar di Gedung Sate, Selasa (19/4/2022)
Praktik pungli seolah lumrah terjadi diberbagai lini, tak peduli itu terjadi di dunia pendidikan yang kita tahu dunia pendidikan tempatnya orang-orang terdidik, namun kini justru dijadikan lahan empuk oleh oknum tak bertanggungjawab. Selain itu kasus pungli disistem saat ini nampaknya akan terus menggurita, kenapa? Karena sistem kapitalisme yang dipakai adalah sistem buatan manusia yang memiliki terbatasan dalam segala hal.
Sebuah sistem yang mengedepankan hawa nafsu, berlomba-lomba meraih harta tanpa memperhatikan halal dan haram. Hingga tak peduli lagi bahwa tindakan tersebut melanggar syariat bahkan pelaku pungli sudah terkikis rasa takut akan dosa bahkan mungkin hilang rasa takut akan dosanya. Maka menjadi hal yang wajar sistem kapitalisme tidak mampu menghentikan praktik pungli tersebut.
Berbeda jauh yang diajarkan dalam agama Islam, sebuah agama yang bukan hanya mengatur prihal ibadah saja namun aturan kehidupan pun Islam punya aturannya dari yang sepele sampai aturan yang bertele-tele. Aturannya lengkap, komplek dan sempurna karena aturannya lahir langsung dari Sang Pencipta yaitu Allah SWT termasuk bagaimana mengakhiri paktik pungli tersebut.
Setiap muslim diperintahkan untuk taat kepada syariatNya termasuk tidak melakukan praktik pungli, tindakan tersebut termasuk merampas harta yang bukan haknya hukumnya haram.
Baca Juga :
Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 188)
Jika kita mau belajar kepada sejarah Islam, dimasa kepemimpinan Umar Bin Khatab beliau sangat memperhatikan dengan ketat bagaimana sebuah harta didapatkan. Apakah harta tersebut di dapat dengan cara halal atau haram. Termasuk mengawasi beberapa pejabat atau bawahannya ketika mengetahui hartanya bertambah.
Ada sebuah riwayat Umar pernah mempertanyakan harta yang diperoleh oleh Abu Hurairah ra. dari jabatannya sebagai gubernur di Bahrain. Waktu sebelum menjabat Abu Hurairah hanya memakai sendal jepit namun ketika menjabat hartanya bertambah mampu membeli kuda-kuda besar dengan harga 1.600 dinar. Tapi Abu Hurairah menjelaskan bahwa kuda tersebut dijadikan usaha sehingga berkembang biak menjadi banyak. (Yahya bin Yazid al-Hukmi al-Faifi, Sang Legenda Umar bin Khaththab)
Ini semua dilakukan sebagai bentuk pengawasaan Umar dan betapa hati-hatinya terhadap harta yang diperolehnya. Lantas bagaimana mengakhiri pungli menurut mekanisme Islam.
Pertama, standar halal haram, baik harta berupa barang maupun perbuatan, standar yang digunakan dalam Islam yaitu halal dan haram.
Kedua sangsi tegas, dengan adanya sangsi akan memberikan efek jera bagi pelaku pungli, dalam Islam sangsi yang akan diberikan kepada pelaku berupa hukuman penjara bahkan bisa hukuman mati sesuai keputusan hakim.
Ketiga pendidikan, melalui pendidikan segala informasi akan didapatkan, mana yang baik dan buruk dan sangsi apa saja yang akan diperoleh jika melanggar syariat.
Itu semua tak lepas dari peran negara karena negara yang dipimpin oleh seorang pemimpin bertanggungjawab penuh atas kepengurusan rakyatnya. Termasuk mengakhiri pungli di tengah masyarakat dari berbagai lini.
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).***