Solusi Islam Menjadikan Negara Swasembada Kedelai
Roel - 2 Maret 2022

Roel - 2 Maret 2022
Oleh : Siti Susanti, S.Pd., (Pengelola Majelis Zikir As-Sakinah)
Top Jabar, Kota Bandung – Tahu tempe, dua komoditas ini bisa dibilang sebagai makanan rakyat. Selain mengandung gizi yang tinggi, memiliki rasa yang lezat, juga berharga murah. Tampaknya, semua orang suka terhadap dua pangan ini.
Apalagi di zaman sekarang ini, dimana daya beli masyarakat rendah akibat kondisi ekonomi yang tidak menentu, tahu tempe menjadi andalan para ibu sebagai menu keluarga.
Penulis sendiri mengalami ketika berbelanja di tukang sayur, tahu tempe paling cepat diserbu pembeli. Agak siang saja, jangan harap bisa menemukan keduanya.
Indonesia sendiri merupakan penikmat kedelai paling besar kedua setelah Cina.
Namun beberapa hari ini, tahu tempe menjadi sulit ditemukan. Hal ini karena sejumlah pengusaha tahu dan tempe mulai mogok produksi tanggal 21-23/2/2022. Hal ini disebabkan harga kedelai impor yang mengalami kenaikan signifikan. Meski demikian, Asosiasi Kedelai Indonesia (Akindo) menjamin stok kedelai dari importir masih aman di tengah kenaikan harga.
Baca Juga :
Dengan kondisi ini, tentu rakyat kecil akan semakin kesulitan dalam memenuhi gizi keluarga. Jika begini, dengan apa lagi mencari alternatif pangan bergizi yang terjangkau?
Ironis, negara agraris namun tidak mampu swasembada kedelai, dan harus tergantung kepada produk impor. Sehingga ketika harga pasaran dunia naik, mau tidak mau harus ikut serta dengan aturan tersebut.
Kondisi ini merupakan buah penerapan sistem kapitalisme. Dengan keberadaan UU Cipta Karya terkait pangan, keran impor pangan dibuka lebar.
Meski hal ini di satu sisi mengandung manfaat, namun di sisi lain merugikan. Baik bagi petani kedelai maupun bagi rakyat kecil. Yang diuntungkan tentu saja para pemilik modal besar.
Kapitalisme menjadikan negara agraris yang luas dan subur, alih-alih bisa swasembada kedelai, malah sangat tergantung kepada produk impor.
Jika menilik kepada Islam, negara berperan sebagai pelayan masyarakat, bukan para kapital. Hal ini sebagaimana hadits Nabi SAW: ” Imam (kepala negara) adalah ra’in (pelayan masyarakat) dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas pelayanannya. “
Terkait kedelai, karena ia merupakan kebutuhan masyarakat, maka negara seharusnya melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian.
Upaya penelitian dalam rangka penyediaan bibit unggul kedelai, penyediaan lahan dan pupuk, seharusnya menjadi perhatian utama. Dengan begini, kedelai lokal unggul didapatkan, dan konsumen tidak akan berpaling ke produk luar.
Demikian pula, kebijakan impor barang termasuk pangan, seharusnya berbasis pelayanan kepada masyarakat. Jika merugikan masyarakat banyak, seharusnya kebijakan tersebut tidak diambil.
Tercatat dalam sejarah, sejak awal abad ke-9 M, peradaban kota-kota besar muslim yang tersebar di timur dekat Afrika Utara dan Spanyol telah ditopang dengan sistem pertanian yang sangat maju, irigasi yang luas, serta pengetahuan pertanian yang tinggi.
Peradaban Islam telah berhasil melakukan transformasi fundamental di sektor pertanian yang dikenal sebagai Revolusi Hijau Abad Pertengahan atau Revolusi Pertanian Muslim. Produk yang dihasilkan dari teknologi ini akan dipastikan aspek halal dan keamanannya.
Selain itu, sistem ekonomi Islam yang terbukti menyejahterakan akan memastikan terwujudnya segala kebutuhan perkembangan teknologi dan kebutuhan lahan pertanian.
Demikianlah, permasalahan tahu tempe tidak bisa diselesaikan dengan mental tempe. Perlu ada upaya yang serius terkait dengan politik ekonomi yang kuat dan mandiri. Dan Islam, memiliki solusi menjadikan negara kuat dan mandiri, tanpa tergantung impor.***